PIRMA DIAMOND
Minggu, 30 Januari 2011
Sabtu, 22 Januari 2011
tentang PELAKSANAAN DANA RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KAMPUNG (RESPEK)
Rencana Strategis Pembangunan Kampung atau disingkat Respek selalu mendapat respons positif dari masyarakat. Namun di sisi lain sangat merepotkan karena membutuhkan perencanaan yang matang dan butuh kesabaran.
Bahkan beberapa daerah mengeluh, dananya terlalu sedikit dan masih ada beberapa kampung di pedalaman yang belum pernah merasakan adanya Respek alias bantuan sinterklas dari Provinsi Papua.
Sebenarnya program pembangunan bagi masyarakat sangat positif dan pro-rakyat perlu disambut positif. Namun sebaliknya program-program bantuan sebagai pendorong dikhawatirkan memberikan ketergantungan baru dan mematikan kreatifitas orang kampung.
Mendengar serta memberikan jawaban dari keluhan orang-orang di kampung. Respek secara berkelanjutan mulai dijalankan pada 2007 dan 2008, bagi pasangan Bas dan Alex Hesegem, program ini menjadi salah satu jawaban bagi pergumulan Orang Papua.
Alasan program Respek diturunkan oleh pasangan ini karena kampung di Papua berjumlah 2593 yang dihuni oleh 70% dari 1,875.388 jiwa pada wilayah seluas 317.062 KM2. Hampir sebagian besar mereka hidup sebagai petani subsitens dan 81,25% diantaranya termasuk rumah tangga miskin. Bahkan ada 14 titik komunitas di Provinsi Papua yang belum terjangkau pelayanan pemerintah.
Masalah lainnya di Provinsi Papua yang selalu dikumandangkan Bas adalah angka harapan hidup di Papua 66,2. Tahun harapan hidup masih jauh dari rata-rata nasional yaitu 72 tahun. Begitu pula angka kematian ibu di Provinsi Papua mencapai 396/100.000 masih di atas angka nasional 307/100.000. Angka kematian bayi adalah 56/1000 juga masih di atas rata-rata nasional 20/1000.
Melihat fakta-fakta di lapangan menyebabkan duet pasangan Suebu-Hesegem melalui skema PNPM-RESPEK, pemerintah menyalurkan dana Rp. 100 juta kepada setiap kampung untuk dimanfaatkan bagi pembangunan kampung.
Adapun alasan utama Respek, untuk menjawab ketertinggalan dan ketimpangan pembangunan masyarakat kampung, karena selama ini perhatian dan pemberdayaan masyarakat kampung terabaikan dan kurang memperhatikan hak-hak masyarakat adat seperti mengakui, menghormati, melindungi dan memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat sesuai UU Otsus Papua.
Dalam banyak segi sebenarnya program RESPEK mirip dengan Program Pembangunan Distrik (PPD). Bentuk program ini pernah dilakukan oleh mantan Bupati Jayapura JP Karafir yang kemudian dilanjutkan Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dalam programnya Pemberdayaan Masyarakat sejak terpilih 12 Oktober 2001.
Sumber dana Respek berasal dari Dana Otsus Papua dana block grant Respek dalam Tahun Anggaran 2007 jumlahnya Rp. 100 juta per kampung. Selain dana block grant dari Provinsi Papua, sejumlah kabupaten/kota juga mengambil inisiatif untuk mengalokasikan dana Otsus ke kampung dalam bentuk dana pemberdayaan distrik dan kampung.
Program-program yang jadi prioritas dalam pembiayaan Respek adalah, pemenuhan makanan dan gizi, pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, infrasturktur kampung, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, pemberdayaan perempuan serta peningkatan kapasitas aparat distrik, kampung dan masyarakat.
Memang saatnya Rakyat Papua diberdayakan namun cara pendekatan juga harus diubah, bukan dengan paksa dan menggunakan pendamping yang tidak mengerti kondisi wilayah yang didampinginya. Beberapa wilayah di Tanah Papua, mungkin sudah mendapat kuncuran dana Respek dan menjalankannya dengan baik. Sebaliknya dengan daerah-daerah di pedalaman yang belum terima dan dana sebesar Rp. 100 juta. Bahkan jumlah dana Respek dinilai sangat kecil dengan kebutuhan sehari-hari yang berbeda dengan wilayah perkotaan.
Salah satu wilayah di pedalaman Pegunungan Tengah, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, hingga kini dalam Tahun 2010 belum juga menerima bantuan dana Respek dari provinsi maupun kabupaten. “Sampai saat ini, kami belum menerima dana Respek sebesar Rp. 100 juta dari Pemerintah Provinsi Papua,” kata Kepala Distrik Tigi Barat, Fransiskus Ign. Bobii.
Kalau demikian, apakah mungkin dapat dikatakan dana ini memang sudah disalurkan ataukah sudah di telan oleh pendamping-pendamping dana Respek di kampung-kampung ataukan hanya mengalir di kampung-kampung tertentu bahkan di kota saja. “Untuk itu, dana jangan hanya diberikan di ibu kota Provinsi Papua, Jayapura saja tetapi harus terarah pada sasaran bagi masyarakat,” saran Fransiskus.
Memang diakui dana ini dari sangat kecil kebutuhanya apabila di bandingkan dengan daerah Tigi Barat dengan 12 kampung dari total 26.965 jiwa penduduk di Distri Tigi Barat yang termasuk daerah pemekaran baru dari Kabupaten Induk Paniai, sementara berada jauh dari pusat kota atau di pedalaman, sehingga jelas berbeda. Dengan demikian dana 100 juta di Distrik Tigi Barat sangat kecil, karena untuk belanja semen saja Rp. 250 ribu atau seng Rp. 150 ribu. “Jadi seharusnya dapat dibedakan antara dana di kota dengan kampung-kampung di daerah pedalaman Papua, bahkan bila perlu jumlah dananya harus di bedakan antara kota dan pedalaman, yakni harus dinaikkan menjadi 250 juta hingga Rp. 300 juta,” tegasnya.
Tidak berbeda dengan Distrik Tigi Barat Kabupaten Deiyai, program Respek masih banyak menyisakan sejumlah persoalan yang mungkin saja terjadi di daerah lain di Tanah Papua, misalnya perbedaan pemahaman antara pendamping dengan kepala kampung atau bahkan pendamping yang tidak betah dengan kondisi lingkungan masyarakat kampung hingga pengaturan dan peruntukan dana ini untuk apa masih saja menjadi perdebatan, padahal sudah jelas Respek dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan yang dirancang dan dikerjakan oleh masyarakat kampung.
Misalnya di Kabupaten Jayawijaya sejak 2007 pelaksanaan Respek difokuskan pada 33 distrik dari 39 distrik yang ada, dengan 376 kampung dan 2 kelurahan sedangkan Tahun 2008 semuanya terlaksana, dimana alokasi dana dari Tahun 2007 hingga 2009 disalurkan Rp. 82 milyar, sedangkan 2009 dan 2010 belum ada program yang dijalankan, sebab dananya belum dialokasikan. “Namun pendamping jarang dilapangan, akibatnya konsultasi, bimbingan dan pembinaan kepada masyarakat tidak berjalan baik,” ujar Bupati Jayawijaya, ketika menerima kunjungan “turkam” Respek dari Gubernur Papua pada 5 Juli di Wamena.
Sementara di Kabupaten Yahukimo berdasarkan keterangan pers yang diterima JUBI awal April 2010, salah seorang tokoh masyarakat asal Kabupaten Yahukimo, Welhelmus Lokon Amdp, mengatakan sedikitnya 581 kampung dari 51 Distrik di Kabupaten Yahukimo sampai saat ini belum menerima dana Respek tersebut, padahal sudah tiga tahun program ini berjalan. Bahkan dirinya sudah langsung mengecek ke Bank Papua tapi dana itu tidak ada, termasuk adanya laporan di Bank Mandiri sudah di cek tetapi belum jelas keberadaannya
PENDIDIKAN ADALAH HAK RAKYAT
BUKU SAKU
PENDIDIKAN ADALAH HAK RAKYAT
1. FITRAH SOSIAL MANUSIA DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN
Individu sebagai mahkluk sosial, tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan
manusia secara psikologis dan sosial, artinya pada diri individu untuk tumbuh dan
berkembang dibentuk dan dipengaruhi dari dua ranah, yaitu (1) potensi diri yang
dimiliki secara kodrati, seperti emosional, kecerdasan, bakat, dan unsur psikologis
yang lain (2) ranah sosial dengan berbagai realitasnya, yang berfungsi dan memiliki
peran sebagai proses pendidikan, sekaligus merupakan ruang reproduksi sosial
terhadap individu, yang menjadikan keberadaan individu dalam hidup dan kehidupan
sosial menjadi lebih bermakna.
Pandangan tersebut, memberikan pemahaman bahwa kebermaknaan individu
dalam realitas sosial tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang berakar
pada nilainilai
moral, tananan budaya dan agama, yang berlangsung baik di dalam
lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, sebagai proses
pencerdasan dan humanisasi.
Pendidikan dapat terjadi, kapan dan dimanapun dalam hidup, karena itu sering
diartikan bahwa tujuan pendidikan adalah pertumbuhan diri, bersamasama
dengan
tujuan hidup manusia, inilah yang disebut R.S. Peters dalam bukunya Philosophy of
education menandaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan tidak mengenal akhir,
karena kualitas pendidikan terus meningkat, seiring dengan perubahan peradaban
manusia.
Melalui pendidikan, akan mengantarkan kecerdasan bangsa, membangun nilainilai
akan kepekaan, kepedulian, menyelesaikan persoalan kebodohan, menuntaskan
segala permasalahan bangsa, menjadikan solosi untuk mengatasi kemiskinan,
mengantarkan bangsa memiliki peradaban humanisasi dan berbudaya. Menurut
Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal untuk menumbuhkan
kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial
hanya akan bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas dunia
sekitar mereka.
Pendidikan memiliki nilai yang utama dan menjadi hak setiap individu, menjadikan
pilihan strategis dalam mengantarkan tercapainya tujuan individu maupun
komunitas, karena itu Menurut Prof. Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal dalam pendidikan,
yaitu :
Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka.
Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing
dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya
dalam pendidikan.
Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik
peserta didik, tetapi pengembangan seluruh spektrum intelegensi baik jasmani
maupun rohani perlu diberikan kesempatan yang luas dan fleksibel, baik
didalam pendidikan formal, non formal dan informal.
Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pandai tetapi
yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat
tujuan penciptaannya. Hal senada pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa
tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang
berbudaya (educated and Civized human being). Diambil dari Tata Abdulah. 2004.
Landasan dan Prinsip Pendidikan Umum (Makalah). Bandung: UPI Bandung
Karenanya, menjadi tepat menurut Ki Hajar Dewantara, dalam meletakkan lima asas
dalam pendidikan, yaitu (1) Asas kemerdekaan; (2) Asas kodrat Alam; (3) Asas
kebudayaan; (4) Asas kebangsaan; (5) Asas kemanusiaan.
Mengutip pernyataan Ki Hajar Dewantara : Berilah kemerdekaan kepada anakanak
kita ; bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntunan yang
kodrati alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan
kehalusan hidup manusia. Keinginan perwujudan pendidikan sebagaimana yang
dicitacita
Ki Hajar Dewantara adalah : “Pendidikan Indonesia harus mencerminkan
nilainilai
kebangsaan sendiri, jangan meniru kebangsaan lain, karena berbeda
prespektif dan latar belakang kelahiran bangsanya, pendidikan harus bertumpu pada
kekuatan nalar, berpikir yang bermoral, beradab dan memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap kepentingan bangsa di atas kepentingan kerdil dan sempit.” (Moh. Yamin
dalam bukunya Menggugat Pendidikan Indonesia).
Bertolak dari perspektif diatas, maka pendidikan lebih diartikan sebagai proses : (a)
penyadaran (b) pencerahan (c) pemberdayaan (d) dan perubahan perilaku, atas
makna tersebutlah maka pendidikan menjadi bagian yang harus dijalani oleh setiap
individu, dan pendidikan ditempatkan sebagai hak individu yang mutlak harus
diperoleh, tidak ada lagi ceritera, kendala atau kesulitan untuk memperoleh
pendidikan, sepanjang individu sebagai warga negara Indonesia yang berada pada
batas wilayah kepulauan RI, maka pendidikan wajib hadir dan memberikan
pelayanan sebagai hak rakyat.
Peradaban kehidupan kini yang tidak lepas dari pengaruh global, menuntut kepada
negara, keluarga dan masyarakat dalam melakukan tanggung jawab pengelolaan
pendidikan yang disajikan kepada anak bangsa dan masyarakat, tidak menjadikan
beban yang memberatkan, melainkan fasilitasi dan kemudahan menjadi tindakan
nyata yang wajib diwujudkan dalam realitas sosial.
Dalam konteks inilah, kebijakan pendidikan yang dituangkan melalui UU, maupun
peraturan pemerintah, dapat memberikan keterjaminan warga masyarakat untuk
memperoleh kemudahan pendidikan, sebagai bagian dari upaya dalam melakukan
pencerdasan anak bangsa.
2. KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENDIDIKAN
Kebijakan nyata dalam bidang pendidikan, yang diletakkan sebagai hak yang telah
diberikan kepada masyarakat sebagai upaya pencerdasan anak bangsa, telah
dituangkan dalam UU 45 pasal 31 ayat 1 bahwa “setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan” ; dan dalam ayat 2 menyatakan : “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Sebagai hak masyarakat untuk memperoleh kesempatan, pelayanan dan akses
kebutuhan pendidikan selaku warga negara, telah didukung secara sah oleh
keputusan UU. Dukungan keputusan UU diatas, dalam kerangka otonomi daerah
telah ditegaskan dalam mendudukan pendidikan di tingkat dasar telah disediakan
oleh negara, melalui keputusan UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yaitu :
Pemerintah Daerah memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan pelayanan
pendidikan dasar (SD dan SLTP), karena itu apabila terdapat anak usia wajib
belajar tidak menikmati pendidikan dasar, maka pemerintah daerah wajib untuk
memberikan fasilitasi kegiatan pendidikan di wilayahnya, baik dalam konteks
pelayanan, pemerataan, kemudahaan akses, maupun mutu pendidikan.
Sejalan dengan arah dan kebijakan diatas, pendidikan bukan sebatas tanggung
jawab pemerintah saja, melainkan keterlibatan keluarga dan masyarakat memiliki
peran dan fungsi dalam memberikan fasilitasi dan dorongan atas pelaksanaan
kegiatan pendidikan, sebagaimana dituangkan melalui UU Sisdiknas dan
Kepmendiknas sebagaimana dibawah ini.
§ UU sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003, BAB XV : Peran
serta masyarakat dalam pendidikan, pasal, 56 menegaskan suatu
penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan menjadi kewajiban untuk
melibatkan masyarakat.
§ Kepmendiknas Nomor : 044/U/2002 yang bertujuan Mewadahi dan
menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan
kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
Meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan. Menciptakan suasana dan kondisi
transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan
pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Perwujudan program pendidikan berdasarkan kebijakan tersebut, dalam mendukung
penuntasan anak usia wajib belajar, ditetapkan strategi sepuluh pola wajib belajar,
yaitu :
1 SMP Reguler 6 Kejar paket A, B, C
2 SMP Kecil 7 Madrasah Tsanawiyah
3 SMP Terpadu 8 Pondok Pesantren
4 SMP Luar Biasa 9 Ujian Persamaan
5 Sekolah Luar Biasa 10 SMP terbuka
Pendidikan dasar 9 tahun yang terkendala oleh faktor ekonomi, daya tamping,
geografis dan faktor budaya, diatasi dengan strategi
No. Kendala Pola Penuntasan
1 Ekonomi Bea siswa Miskin
BOS
BOS Buku
2 Daya Tampung SMP Reguler atau Mts Reguler
Unit Sekolah Baru SMP/Mts
Ruang Kelas Baru SMP/Mts
3 Geografis SDSMP
Satu Atap atau MIMts
Satu Atap
SMP Terbuka atau Mts Terbuka
Unit Sekolah Baru SMP Berasrama
4 Budaya Program Paket A, B dan C
Wajar Dikdas di Pontren Salafiyah
5 Alasan Khusus SMP LB
6. Mutu Pendidikan Program MBS
Masih berada pada ranah UU Sisdiknas, terkait dengan pendidikan berbasis
masyarakat dinyatakan dalam pasal 55, bagian kedua menetapkan :
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Perwujudan program pendidikan berbasis masyarakat yang berada pada lingkup
Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) sebagai berikut :
1. Program Taman Bacaan Masyarakat
2. Program Penguatan Keaksaraan
3. Program Keaksaraan Dasar
4. Program Lomba Keberaksaraan
5. Program Pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri
6. Program Pemberdayaan Perempuan Berbasis Potensi Lokal
7. Program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender
8. Sekolah Berwawasan Gender
9. Kursus Wirausaha Desa
10. Kursus Wirausaha Kota
11. Kursus Para Profesi
12. Program Pendidikan Kesetaraan Paket A ; B dan C
13. Program Pendidikan Kecakapan Hidup (lifeskill)
14. Program Pendidikan Magang
15. Program Kelompok Belajar Usaha
16. Program Pendidikan Anak Usia Dini (Paud)
17. Program PosPaud
(PosyanduPaud
Terintegrasi)
18. Program Pembelajaran Paud Berbasis Multimedia
19. Program Pendidikan TPA (Tempat Penitipan Anak)
20. Program Pendidikan Kelompok Bermain
3. PENUTUP
Pemerintah telah menyediakan berbagai program pendidikan, baik yang terkait
dengan pelayanan pendidikan formal maupun non formal yang ditawarkan kepada
masyarakat. Program pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakat, disertai
dengan penyediaan dana belajar yang jumlahnya disesuaikan dengan ragam
kegiatan belajar.
PENDIDIKAN ADALAH HAK RAKYAT
1. FITRAH SOSIAL MANUSIA DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN
Individu sebagai mahkluk sosial, tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan
manusia secara psikologis dan sosial, artinya pada diri individu untuk tumbuh dan
berkembang dibentuk dan dipengaruhi dari dua ranah, yaitu (1) potensi diri yang
dimiliki secara kodrati, seperti emosional, kecerdasan, bakat, dan unsur psikologis
yang lain (2) ranah sosial dengan berbagai realitasnya, yang berfungsi dan memiliki
peran sebagai proses pendidikan, sekaligus merupakan ruang reproduksi sosial
terhadap individu, yang menjadikan keberadaan individu dalam hidup dan kehidupan
sosial menjadi lebih bermakna.
Pandangan tersebut, memberikan pemahaman bahwa kebermaknaan individu
dalam realitas sosial tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang berakar
pada nilainilai
moral, tananan budaya dan agama, yang berlangsung baik di dalam
lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, sebagai proses
pencerdasan dan humanisasi.
Pendidikan dapat terjadi, kapan dan dimanapun dalam hidup, karena itu sering
diartikan bahwa tujuan pendidikan adalah pertumbuhan diri, bersamasama
dengan
tujuan hidup manusia, inilah yang disebut R.S. Peters dalam bukunya Philosophy of
education menandaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan tidak mengenal akhir,
karena kualitas pendidikan terus meningkat, seiring dengan perubahan peradaban
manusia.
Melalui pendidikan, akan mengantarkan kecerdasan bangsa, membangun nilainilai
akan kepekaan, kepedulian, menyelesaikan persoalan kebodohan, menuntaskan
segala permasalahan bangsa, menjadikan solosi untuk mengatasi kemiskinan,
mengantarkan bangsa memiliki peradaban humanisasi dan berbudaya. Menurut
Romo Mangun Wijaya, pendidikan adalah proses awal untuk menumbuhkan
kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial
hanya akan bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas dunia
sekitar mereka.
Pendidikan memiliki nilai yang utama dan menjadi hak setiap individu, menjadikan
pilihan strategis dalam mengantarkan tercapainya tujuan individu maupun
komunitas, karena itu Menurut Prof. Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal dalam pendidikan,
yaitu :
Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka.
Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing
dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya
dalam pendidikan.
Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik
peserta didik, tetapi pengembangan seluruh spektrum intelegensi baik jasmani
maupun rohani perlu diberikan kesempatan yang luas dan fleksibel, baik
didalam pendidikan formal, non formal dan informal.
Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia pandai tetapi
yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari hakikat
tujuan penciptaannya. Hal senada pendapat Sindhunata (2000 : 14) bahwa
tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia yang
berbudaya (educated and Civized human being). Diambil dari Tata Abdulah. 2004.
Landasan dan Prinsip Pendidikan Umum (Makalah). Bandung: UPI Bandung
Karenanya, menjadi tepat menurut Ki Hajar Dewantara, dalam meletakkan lima asas
dalam pendidikan, yaitu (1) Asas kemerdekaan; (2) Asas kodrat Alam; (3) Asas
kebudayaan; (4) Asas kebangsaan; (5) Asas kemanusiaan.
Mengutip pernyataan Ki Hajar Dewantara : Berilah kemerdekaan kepada anakanak
kita ; bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntunan yang
kodrati alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan
kehalusan hidup manusia. Keinginan perwujudan pendidikan sebagaimana yang
dicitacita
Ki Hajar Dewantara adalah : “Pendidikan Indonesia harus mencerminkan
nilainilai
kebangsaan sendiri, jangan meniru kebangsaan lain, karena berbeda
prespektif dan latar belakang kelahiran bangsanya, pendidikan harus bertumpu pada
kekuatan nalar, berpikir yang bermoral, beradab dan memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap kepentingan bangsa di atas kepentingan kerdil dan sempit.” (Moh. Yamin
dalam bukunya Menggugat Pendidikan Indonesia).
Bertolak dari perspektif diatas, maka pendidikan lebih diartikan sebagai proses : (a)
penyadaran (b) pencerahan (c) pemberdayaan (d) dan perubahan perilaku, atas
makna tersebutlah maka pendidikan menjadi bagian yang harus dijalani oleh setiap
individu, dan pendidikan ditempatkan sebagai hak individu yang mutlak harus
diperoleh, tidak ada lagi ceritera, kendala atau kesulitan untuk memperoleh
pendidikan, sepanjang individu sebagai warga negara Indonesia yang berada pada
batas wilayah kepulauan RI, maka pendidikan wajib hadir dan memberikan
pelayanan sebagai hak rakyat.
Peradaban kehidupan kini yang tidak lepas dari pengaruh global, menuntut kepada
negara, keluarga dan masyarakat dalam melakukan tanggung jawab pengelolaan
pendidikan yang disajikan kepada anak bangsa dan masyarakat, tidak menjadikan
beban yang memberatkan, melainkan fasilitasi dan kemudahan menjadi tindakan
nyata yang wajib diwujudkan dalam realitas sosial.
Dalam konteks inilah, kebijakan pendidikan yang dituangkan melalui UU, maupun
peraturan pemerintah, dapat memberikan keterjaminan warga masyarakat untuk
memperoleh kemudahan pendidikan, sebagai bagian dari upaya dalam melakukan
pencerdasan anak bangsa.
2. KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENDIDIKAN
Kebijakan nyata dalam bidang pendidikan, yang diletakkan sebagai hak yang telah
diberikan kepada masyarakat sebagai upaya pencerdasan anak bangsa, telah
dituangkan dalam UU 45 pasal 31 ayat 1 bahwa “setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan” ; dan dalam ayat 2 menyatakan : “Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Sebagai hak masyarakat untuk memperoleh kesempatan, pelayanan dan akses
kebutuhan pendidikan selaku warga negara, telah didukung secara sah oleh
keputusan UU. Dukungan keputusan UU diatas, dalam kerangka otonomi daerah
telah ditegaskan dalam mendudukan pendidikan di tingkat dasar telah disediakan
oleh negara, melalui keputusan UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yaitu :
Pemerintah Daerah memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan pelayanan
pendidikan dasar (SD dan SLTP), karena itu apabila terdapat anak usia wajib
belajar tidak menikmati pendidikan dasar, maka pemerintah daerah wajib untuk
memberikan fasilitasi kegiatan pendidikan di wilayahnya, baik dalam konteks
pelayanan, pemerataan, kemudahaan akses, maupun mutu pendidikan.
Sejalan dengan arah dan kebijakan diatas, pendidikan bukan sebatas tanggung
jawab pemerintah saja, melainkan keterlibatan keluarga dan masyarakat memiliki
peran dan fungsi dalam memberikan fasilitasi dan dorongan atas pelaksanaan
kegiatan pendidikan, sebagaimana dituangkan melalui UU Sisdiknas dan
Kepmendiknas sebagaimana dibawah ini.
§ UU sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003, BAB XV : Peran
serta masyarakat dalam pendidikan, pasal, 56 menegaskan suatu
penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan menjadi kewajiban untuk
melibatkan masyarakat.
§ Kepmendiknas Nomor : 044/U/2002 yang bertujuan Mewadahi dan
menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan
kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
Meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan. Menciptakan suasana dan kondisi
transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan
pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Perwujudan program pendidikan berdasarkan kebijakan tersebut, dalam mendukung
penuntasan anak usia wajib belajar, ditetapkan strategi sepuluh pola wajib belajar,
yaitu :
1 SMP Reguler 6 Kejar paket A, B, C
2 SMP Kecil 7 Madrasah Tsanawiyah
3 SMP Terpadu 8 Pondok Pesantren
4 SMP Luar Biasa 9 Ujian Persamaan
5 Sekolah Luar Biasa 10 SMP terbuka
Pendidikan dasar 9 tahun yang terkendala oleh faktor ekonomi, daya tamping,
geografis dan faktor budaya, diatasi dengan strategi
No. Kendala Pola Penuntasan
1 Ekonomi Bea siswa Miskin
BOS
BOS Buku
2 Daya Tampung SMP Reguler atau Mts Reguler
Unit Sekolah Baru SMP/Mts
Ruang Kelas Baru SMP/Mts
3 Geografis SDSMP
Satu Atap atau MIMts
Satu Atap
SMP Terbuka atau Mts Terbuka
Unit Sekolah Baru SMP Berasrama
4 Budaya Program Paket A, B dan C
Wajar Dikdas di Pontren Salafiyah
5 Alasan Khusus SMP LB
6. Mutu Pendidikan Program MBS
Masih berada pada ranah UU Sisdiknas, terkait dengan pendidikan berbasis
masyarakat dinyatakan dalam pasal 55, bagian kedua menetapkan :
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Perwujudan program pendidikan berbasis masyarakat yang berada pada lingkup
Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) sebagai berikut :
1. Program Taman Bacaan Masyarakat
2. Program Penguatan Keaksaraan
3. Program Keaksaraan Dasar
4. Program Lomba Keberaksaraan
5. Program Pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri
6. Program Pemberdayaan Perempuan Berbasis Potensi Lokal
7. Program Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender
8. Sekolah Berwawasan Gender
9. Kursus Wirausaha Desa
10. Kursus Wirausaha Kota
11. Kursus Para Profesi
12. Program Pendidikan Kesetaraan Paket A ; B dan C
13. Program Pendidikan Kecakapan Hidup (lifeskill)
14. Program Pendidikan Magang
15. Program Kelompok Belajar Usaha
16. Program Pendidikan Anak Usia Dini (Paud)
17. Program PosPaud
(PosyanduPaud
Terintegrasi)
18. Program Pembelajaran Paud Berbasis Multimedia
19. Program Pendidikan TPA (Tempat Penitipan Anak)
20. Program Pendidikan Kelompok Bermain
3. PENUTUP
Pemerintah telah menyediakan berbagai program pendidikan, baik yang terkait
dengan pelayanan pendidikan formal maupun non formal yang ditawarkan kepada
masyarakat. Program pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakat, disertai
dengan penyediaan dana belajar yang jumlahnya disesuaikan dengan ragam
kegiatan belajar.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
• Menimbang :
a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945;
b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;
d. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;
e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;
f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;
g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
j. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
l. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undangundang;
• Mengingat :
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 28;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan;
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;
8. Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat;
9. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);
10. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
11. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
12. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
13. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
14. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4012);
15. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.
Untuk mendapatkan file .pdf atau .docnya dengan isi lengkap, anda harus Login terlebih dahulu, dengan cara menjadi member di web ini. Setelah Login, anda bisa mendownload file di menu download area. Untuk registrasi klik disini
Last Updated on Tuesday, 25 August 2009 08:20
a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945;
b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;
d. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;
e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;
f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;
g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
j. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
l. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undangundang;
• Mengingat :
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 28;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan;
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;
8. Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat;
9. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);
10. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
11. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
12. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
13. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
14. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4012);
15. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.
Untuk mendapatkan file .pdf atau .docnya dengan isi lengkap, anda harus Login terlebih dahulu, dengan cara menjadi member di web ini. Setelah Login, anda bisa mendownload file di menu download area. Untuk registrasi klik disini
Last Updated on Tuesday, 25 August 2009 08:20
Langganan:
Postingan (Atom)